"The lucky hotel" yang kami pilih untuk booking pertama via Hotel Quickly adalah Hotel Java Paragon Surabaya. Penjelasan tentang Hotel Quickly ada di Postingan sebelumnya. Harga hotel yang saya dapatkan, setelah dikurangi kredit Rp 220.000,- , tinggal bayar Rp 280.000,- saja, NO breakfast ya..
Harga sarapan dibandrol Rp 145.000,- per orang. Saya tanya untuk anak umur 4 tahun (Asha) apakah harus bayar juga. Lalu resepsionisnya menelepon seseorang dan bertanya apakah anak di bawah 5 tahun free breakfast, dan ternyata free. Awalnya kami ingin sarapan di hotel saja. Apalagi setelah melihat review dari SINI, makanannya terlihat sangat menggiurkan ya. Tapi kemudian kami urungkan niat itu setelah melihat review di SINI, yang menyatakan bahwa ada menu udang yang dimasak menggunakan white wine. Daripada bingung dan bertanya-tanya makanan mana yang halal, lebih baik sarapan roti saja di kamar, hehehe.. ngeles.. bilang aja mau ngirit :)
Setelah diberi kunci kamar di lantai 8, kami dengan percaya diri langsung memasuki lift. Di dalam lift, kami kebingungan karena nomor 8 tidak bisa dipencet. Kami coba nomor 7, 9, dan 10 juga tidak bisa. Tapi nomor 6 bisa. Akhirnya kami keluar ke lantai 6, dan mencoba pindah ke lift satunya. Pasti lift yang ini rusak, semoga lift satunya bisa berfungsi baik.
Tapiiiii..... ternyata sama saja. Dengan kesal kami memencet hampir semua nomor di sekitar nomor 8, bisa kami rasakan lift bergerak naik turun ga jelas. Lalu pintu terbuka di lantai 11. Kami keluar karena khawatir kalau liftnya rusak. Tapi karena tidak ada siapa-siapa yang bisa kami mintai pertolongan, kami memutuskan masuk lagi ke dalam lift untuk pergi ke lobby sekali lagi dan meminta tolong pada resepsionis.
Tiba-tibaaaaa... keajaiban terjadi.
Hayah..
Si Papi kebetulan melihat di salah satu sudut lift sebuah tulisan cara menggunakan lift. Di sana tertulis bahwa kami harus memasukkan kartu, lalu mengeluarkannya, baru kemudian memencet nomor yang diinginkan.
Hayah..
Si Papi kebetulan melihat di salah satu sudut lift sebuah tulisan cara menggunakan lift. Di sana tertulis bahwa kami harus memasukkan kartu, lalu mengeluarkannya, baru kemudian memencet nomor yang diinginkan.
Oalaaaahhhh... Kenapa ga bilang dari tadi???
Hahahahahahaha... haduh, kalau ingat kejadian itu bikin geli sendiri. Yaaa.. harap maklum yah. Dari semua lift hotel yang pernah kami temui, baru kali ini yang menggunakan sistem kartu seperti itu, hehehe.. ngeles. Alhamdulillah akhirnya kami bisa tiba di kamar dengan selamat.
di sisi kanan dan kiri ada tombolnya, sedangkan kami hanya fokus pada tombol sebelah kanan saja (tombol lift biasanya hanya di kanan), jadi kami tidak ngeh dengan tulisan itu :)
Setelah masuk ke dalam kamar, agak kaget juga karena ternyata kamarnya sangat sempit, mungkin sekitar 4m x 5,5m, no bathup. Wajar sih, karena (sepertinya) kalau pesan di HQ, kita akan mendapatkan kamar superior. Tapi untuk hotel sekelas Java Paragon, saya pikir bahkan kamar superior pun akan lebih luas dari ini, dan dilengkapi dengan bathup, ternyata tidak.
Mau tidak mau, kami jadi membandingkan dengan kamar yang pernah kami booking di Hotel Elmi yang, walaupun sama-sama superior, tapi lebih luas dengan harga yang lebih murah. Ada bathup nya pula, hahahahahaha.. Mungkin lain kali kalau ke Surabaya lagi, kami akan kembali menginap di Hotel Elmi saja.
Di dalam kamar, ada lagi sebuah "insiden". Ketika kami hendak memindah channel TV, ternyata remotenya tidak berfungsi. Biasanya kalau di rumah, jika remote TV mulai rewel begitu, itu berarti baterainya hampir habis. Lalu yang kami lakukan adalah memukul-mukul pelan remotenya, maka dia akan berfungsi lagi. Jika pukulan tidak ngefek, maka langkah selanjutnya adalah melepas baterai, lalu memasangnya lagi, pasti remote akan normal kembali.
Jadi, ketika remote TV di hotel ini tidak berfungsi, kami berasumsi bahwa baterainya hampir habis. Jadi Papi mulai memukul-mukul remotenya. Dipukul pelan, tidak ngefek. Coba dipukul lebih keras, tidak ngefek juga. Lalu Papi mulai cara kedua yaitu melepas dan memasang kembali baterainya. Tapi kok tetap tidak bisa ya? Jangan-jangan baterainya benar-benar sudah habis?
Papi yang mulai kesal, mencoba lagi cara pertama. Remote naas itu kembali dipukul-pukul secara brutal, sambil bergumam ,"kok ga bisa-bisa sih??"
Plak..plak..bag..bug..duaagg..
Kejam..
Plak..plak..bag..bug..duaagg..
Kejam..
Saat sekilas saya lirik, saya baru menyadari bahwa ada satu tombol yang selalu menyala ketika si Papi mencoba untuk mengganti channelnya. Ketika saya lihat lebih dekat, ternyata yang menyala-nyala itu adalah tombol DVD. Iseng-iseng saya cari tombol bertuliskan TV dan saya pencet. Ternyata BERHASIL..
Ya ampuunn...
Ya ampuunn...
Malamnya, kami memutuskan untuk berjalan kaki ke Ciputra World yang jaraknya hanya sekitar 200-300 meter saja.
Jaraknya sih dekat. Tapi yang bikin deg-degan itu, trotoarnya rusak. Kelihatannya sedang dalam perbaikan. Jadi mau tidak mau, kami harus berjalan kaki dengan sangat berhati-hati di tepi aspal jalan yang sangat ramai kendaraan. Berbahaya.
Semoga ke depannya, Surabaya dan semua kota di seluruh Indonesia, menjadi kota yang lebih ramah pada pejalan kaki.
Jaraknya sih dekat. Tapi yang bikin deg-degan itu, trotoarnya rusak. Kelihatannya sedang dalam perbaikan. Jadi mau tidak mau, kami harus berjalan kaki dengan sangat berhati-hati di tepi aspal jalan yang sangat ramai kendaraan. Berbahaya.
Semoga ke depannya, Surabaya dan semua kota di seluruh Indonesia, menjadi kota yang lebih ramah pada pejalan kaki.
Setelah cek out dari
Java Paragon, kami mampir sebentar ke Taman Bungkul yang terkenal itu.
Sampai di sana langsung makan siang di warung Sedap Malam KALKULATOR.
Setelah menyeruput kuah soto untuk pertama kalinya, kesan pertama yang saya
rasakan adalah.. Enaaaakk.. Rasanya mantab, sangat recommended!!!! Harga per porsi 18ribu.
Lalu sebelum pulang, Asha minta dibelikan mainan. Papi yang pergi menemani Asha, sedangkan saya masih antri beli batagor. Setelah semua selesai, Papi cerita tentang kejadian lucu ketika membeli mainan tadi. Jadi ketika sedang melihat-lihat mainannya, Asha langsung memilih sebuah mainan masak-masakan yang dibungkus mika. Anehnya, si penjual justru memilihkan yang lain, mainannya sama hanya bedanya dibungkus plastik, katanya ,"niki Mas, murah." (ini mas, murah).
Tapi Asha tetap ingin yang dibungkus mika, jadi Papi tanya harganya berapa. Lalu si bapak penjualnya malah bilang ,"Lek niki awis e Mas.." (kalau yang ini mahal e Mas..)
Hyahahahahahaha...
Emang wajah Papi kayak orang susah ya? Kok dari tadi kayaknya si bapak itu ga yakin banget kalau Papi mampu beli mainan itu.
Lalu ketika kami hendak pergi sambil membawa mainan dibungkus mika ini, si Bapak penjual yang ramah dan kelihatan polos itu kembali berwasiat pada Asha,"ojo dipreteli yo nduk, ben ga morat-marit." (mainannya jangan dilepasin ya Nduk, biar ga berantakan.) sambil tersenyum tulus.
Kalau ga dilepasin, gimana cara mainnya Pak?????
Hahahahahahaha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar