Selasa, 10 November 2015

Hari pertama di Bali

Untuk hari pertama pergi ke Bali, kami sengaja memilih penerbangan pagi, supaya bisa sampai di sana sebelum siang, jadi bisa jalan-jalan dulu seharian. Awalnya jadwal Air Asia yang kami pilih berangkat pukul 6.45, tapi kemudian diberi tahu lewat sms bahwa jadwal mundur menjadi pukul 7.30. Kami berangkat dari rumah Mojokerto pukul 5 tepat, dan sampai di bandara pukul 6.15.
Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat. Ini juga pertama kalinya saya masuk ke dalam bandara. Bahkan kalau mau lebih ekstrim lagi, ini pertama kalinya saya melihat bandara secara langsung. Biasanya sih lihat di tivi-tivi saja. Ternyata bandara memang luas ya.. bagus..

 Jasmine senang sekali berlarian di bandara yang luas

Jasmine ngambek ketika harus menunggu di waiting room. dia maunya jalan terus, tidak mau berhenti :)

Di rumah, saya sempat bingung dan khawatir ketika harus melewati metal detector (pendeteksi logam). Karena di koper saya membawa sendok, di tas saya membawa gunting kuku, pembersih telinga, tongsis. Saya mengira, kalau lewat metal detector, semua yang berbahan loga harus dikeluarkan dan ditaruh di wadah terbuka itu lho, pasti ribet sekali ya harus mengeluarkan satu per satu barang logam itu. Tapi ternyata tidak, hahahahahaha... katrok sekali saya..
Maklum, baru pertama kali melewati metal detector, hehehe..

Di waiting room, Jasmine dan Asha bebas bermain di playground yang disediakan pihak bandara. Walaupun sangat kecil, tapi lumayan lah daripada tidak ada.
Penerbangan pertama ini alhamdulillah berjalan dengan lancar. Pesawat berangkat sesuai jadwal, cuaca sangat cerah, tidak ada turbulensi sekalipun. Bahkan kami sampai di Bali lebih cepat dari yang dijadwalkan. 

Begitu selesai urusan SEWA MOBIL, kami langsung cabut ke tujuan pertama. Apalagi kalau bukan makaaann..
Di internet banyak yang merekomendasikan Nasi Pedas Ibu Andika sebagai salah satu makanan halal di Bali. Karena kami sangat buta tentang Bali, jadi satu-satunya pegangan kami adalah GPS. Tapi walaupun sudah menggunakan GPS, kami melewatkan 2 kali belokan ke kiri. Lalu setelah memutar-mutar lebih jauh, disesatkan oleh mbak GPS ke jalanan yang terlalu sempit untuk dilewati mobil, akhirnya kami sampai juga di warung itu. 

Menu makanannya cukup banyak, rasanya juga lumayan menurut saya. Hanya saja harganya terlalu mahal. Nasi, mie dan telur ceplok dibandrol 14ribu. Nasi, sayur, ayam dan usus dibandrol 26ribu. Ususnya terlalu keras. 



Di beberapa blog juga membahas tentang harga di sini yang dinilai terlalu mahal jika dibandingkan rasanya yang standar. Ada yang merekomendasikan Nasi Pedas Bu Hanif daerah Pasar Kuta, katanya rasanya enak dengan harga yang jauh lebih murah.
 
Tujuan berikutnya adalah Tanah Lot. Tiket masuknya adalah 10ribu per orang, anak-anak tidak dihitung. Untuk ukuran low season, ternyata pengunjung Tanah Lot ramai juga ya. Kalau low season saja seperti ini, gimana kalau high season ya? Ga bisa mbayangin..
Walaupun saya pernah ke Tanah Lot jaman SMA, tapi saya tidak punya memori sama sekali tentang tempat ini. Yang pasti, Tanah Lot yang sekarang jauh lebih indah dan lebih cantik daripada dulu (Ya iyalah, sudah 13 tahun berlalu gitu lho..)

Welcome to Tanah Lot

  
Jalan dari parkiran ke tepi tebing

tamannya cantik


Pemandangannya KEREEENN...




Sebenarnya saat itu air laut sedang surut, jadi karang menuju ke pura bisa dilewati. Tapi kami tidak ke sana. Kata teman saya, karangnya sangat licin, tidak disarankan bagi yang membawa anak kecil ke sana. Jadi kami cukup melihat pemandangan dari atas saja.


Low Season aja rame banget..

Rencana awalnya, setelah dari Tanah Lot, kami akan lanjut ke Pantai Double Six supaya Asha bisa main pasir. Tapi karena masih jam 2 siang, pasti suasana di pantai sangat panas, jadi kami memutuskan cek in dulu ke hotel untuk istirahat. Hotelnya dibahas di SINI ya.. 

Jam setengah 4 sore barulah kami meluncur ke Double Six Beach. Sengaja kami berangkat sore, karena kami mengincar sunsetnya yang katanya keren. Jalanan yang kami lewati sempit-sempit ya. Hanya cukup untuk 2 mobil. Itupun di kanan kiri jalan banyak sepeda motor yang parkir, yang membuat jalan hanya cukup untuk 1 mobil saja. 





Tiba di pantai, alhamdulillah kami mendapat stok terakhir tempat parkir yang masih kosong. Menurut saya, pengaturan parkir di sini sangat buruk dan amburadul. Karena sebenarnya tidak ada tempat parkir khusus di sini. Jadi mobil dan motor diparkir di pinggir jalan sepanjang pantai. Padahal jalanannya sudah sempit, ditambah parkir kendaraan, jadi tambah sempit, hanya cukup dilewati 1 mobil. Itupun jalannya dua arah lho. Kalau sampai ada 2 mobil berpapasan, tamat sudah. 

Ini terjadi ketika kami pulang. Kami berpapasan dengan mobil dari depan. Untungnya, lokasi kami ada di depan sebuah hotel, jadi kami bisa agak minggir sedikit dan memberi jalan untuk mobil itu untuk lewat. Dan seperti dugaan kami, di depan sana, sudah banyaaak sekali mobil yang terjebak macet tidak bergerak. Mau maju tidak bisa karena tempat parkir sudah penuh, mau mundur juga tidak bisa karena sudah banyak antrian. Kami saja yang mau pulang hampir ikut terjebak karena sepeda motor dari arah berlawanan numpuk-numpuk di jalur kami. Kacau lah pokoknya. Udah gitu bayar parkirnya mahal gilak, 20ribu.

Tapi kalau soal pemandangan, Pantai Double Six tidak akan mengecewakan. Pantainya cukup bersih, pasirnya halus, ombaknya cukupan (maksudnya tidak besar tidak kecil). Asha yang awalnya tidak mau main air, akhirnya mau juga ketika saya temani. Bahkan, dia jadi ketagihan main-main air ketika ombak datang. Jasmine juga tidak kalah berani. Dia akan langsung berlari menantang ombak yang datang. Walaupun ketika badannya terkena ombak, dia akan oling juga kehilangan keseimbangan, hahahahaha..


Pasirnya halus..



Gembiranya main pasir dan main ombak..


Ketika semua pada main di pantai, Yangti dan Dhinta asik memanjakan diri. Kasur santai itu dibandrol 50ribu per jam. Nah, ibu-ibu pemijat datang dan menawarkan diri. walaupun sudah ditolak, tapi mereka tetap semaunya memegang dan memijit dan membersihkan kaki Yangti dan Dhinta. Ya sudah lah, akhirnya dikasih uang 50ribu.

Playing soccer at sunset



Untuk makan malam, kami memutuskan beli makan di warung sebelah hotel saja. Namanya Warung Suroboyo Bu Toyo. Karena warungnya sudah buka sejak pagi, saat kami datang, menu makanan yang tersisa hanya tinggal sedikit karena sudah malam.

Saya dan Dhinta pesan nasi, usus, cumi dan sambel goreng kentang. Papi pesan nasi, sayur dan ikan goreng. Asha pesan nasi dan ayam. Yangti pesan rawon. Plus es teh 5, krupuk 5. Total 96ribu. Untuk rasanya standar saja. Tidak wow, tapi tidak mengecewakan juga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar